Bagaimana (Agar) Kau Bahagia?




Bagaimana (Agar) Kau Bahagia?
Sekadar Catatan Terhadap Puisi Risti Putri S


#latepost

Mengapa manusia seringkali disebutkan tanpa adanya bantahan sebagai sesempurnanya makhluk yang diciptakan Gusti Allah – yang ia lebih mulia ketimbang para malaikat, apalagi sekumpulan binatang, dan tentu saja lebih dari gerombolan iblis? Hingga dahulu saat para malaikat dan iblis yang tercipta lebih dahulu harus tunduk patuh pada perintah Gusti untuk “bersujud” dan menghormati manusia pertama, Adam?


Adalah para malaikat yang tercipta hanya ada sifat ketaatan – dan tanpa adanya nafsu pada dirinya, yang membuat ia kontan sendika dhawuh bersujud kepada Adam, meski sebelumnya sempat sharing kepada Gusti akan rencana-Nya menciptakan manusia: “Mengapa Kau ciptakan makhluk yang hanya akan berbuat kerusakan di muka bumi, Gusti?” Ia tak mengerti, terbukti, Gusti Allah menjawab: Sesungguhnya Aku lebih mengetahui (di balik penciptaan itu).

Adapun Iblis, terciptalah ia sebagai makhluk yang penuh nafsu kecongkakan. [Aku lebih baik mulia daripadanya], Khalaqtani min-naar wa khalaqtahu min thin, Kau ciptakan aku dari api dan Kau ciptakan dia (hanya) dari tanah. Ribuan tahun ia menyembah hingga tak ada sejengkal pun surga yang tak ia gunakan untuk bersujud kepada Gusti, namun dalam usaha bandingnya: Iblis Menggugat Tuhan, secara telak ia menelan kekalahan. Dan tempatnya, kekal dalam azab dan neraka.

Sedangkan manusia, adalah akal sebagai bekal untuk mencapai derajat mulia bernama ketaatan, dan disertai dengan nafsu sebagai “rintangan” padanya – semacam tes kenaikan tingkat apabila ia mampu mengalahkannya.

***
Begitulah. Sedikit pengertian mengenai manusia semoga dapat mengantarkan kita pada bagaimana seharusnya manusia berjalan di muka bumi. Bagaimana ia memaksimalkan kemuliaan pada dirinya untuk tidak menyerah pada setiap persoalan. Dengan akal dan nurani, manusia dapat belajar pada sifat-sifat Tuhan, dan mencoba untuk mentransfer-nya ke dalam diri.
Misalnya, bukankah manusia – atau katakanlah seorang ibu yang memiliki rasa cinta kasih kepada anaknya, itu merupakan sebagian kecil manifestasi sifat Rahman-Rahim Tuhan yang tak terbatas, yang kemudian ditiupkan kepada ia (ibu itu), kepada manusia, dan juga ditiupkan kepada seluruh makhluk?

Begitu pula terkait dengan tersematnya nafsu, manusia memiliki harapan. Ia pun memiliki kehendak, seperti yang telah saya singgung di atas – bagaimana ia berjalan di muka bumi: tentang bagaimana cara dia untuk mewujudkan kehendak dan harapan agar semuanya tidak menjadi sia-sia belaka.

Dalam proses mewujudkan itulah, akal dan pikiran menjadi begitu berperan, meski ia bukan segalanya. Akal sangat erat berkait dengan cara: cara dia merencana, memulai, dan mengatasi masalah jika tak sesuai dengan rencana.

Lalu, dari sekian banyak kehendak dan harapan manusia, selalu ada tentang cinta, sebab di sanalah ada sebuah tempat bernama keindahan untuk berbagi. Sedangkan dalam berbagi dengan orang lain yang dicintai itu sendiri merupakan kata kunci untuk membedakan apa itu kesenangan, dan apa itu kebahagiaan. Bahwa kesenangan adalah sesuatu yang bisa ia nikmati seorang diri, sedangkan kebahagiaan tak bisa (atau: tak mungkin) dinikmati seorang diri. Ya, kebahagiaan, semua manusia menginginkannya di setiap tarikan nafasnya. Saya pikir, bohong jika ada satu saja manusia yang ia tak ingin bahagia!

***
Nah, dua puisi Risti Putri S: Pahit, dan Kuingin, keduanya menyampaikan sesuatu yang berkait tentang dengan kebahagiaan itu. Sayang sekali, puisi tersebut disampaikan dengan sangat sederhana, seperti bahasa sehari-hari. Kata-kata yang ditulisnya hampir menjadi milik semua orang. Pada puisi Pahit kata-kata itu menjadi milik semua orang yang menerima kenyataan cinta yang pahit, sedangkan pada puisi Kuingin kata-kata itu menjadi milik orang yang sedang disapa cinta.

Berkait dengan kebahagiaan, sekali lagi, bagaimana ia – setiap manusia itu mengusahakannya? Ketika ia menghadapi hambatan? Dan bagaimana ketika harapan pada kebahagiaan itu mulai bersemi?

Kedua puisi tersebut tidak menunjukkan kekuatan tenaga pada mewujudkan kehendak. Semuanya penuh dengan ketidakpastian yang mengambang. Dan pada Pahit, dengan menyebut “permohonan bantuan kepada Tuhan”, belum menunjukkan suatu bentuk pasrah yang lelah setelah berusaha, namun justru bentuk pasrah yang menyerah tanpa melakukan apa-apa.

Mungkin hanya dia yang mampu membantu ku bangkit dari keadaan ini
Apa harus ku melupakan hal itu
Dan menjalani hidup yang baru
Hanya waktu yang dapat membantu

Barangkali terlalu kejam menyebutkan demikian, sebab siapa tahu penyair memang tak ingin menyampaikannya. Namun, “Hanya waktu yang dapat membantu” menjadikan semuanya tak pasti, belum ada tanda yang jelas tegas menunjukkan kesungguhan tekadnya.

Akhirnya, semoga catatan ini bermanfaat bagi kita semua dalam upaya berproses bersama menuju keadaan yang lebih baik. Jangan takut menatap matahari! Mari berproses bersama!


Salam. []
close