Mengelola Kelas Tanpa Marah-Marah

Mengelola Kelas Tanpa Marah-Marah


"Mana ada siswa yang sudah siap untuk belajar? Guru-lah yang harus menyiapkan mereka, mengondisikan mereka untuk benar-benar siap menerima pelajaran."

Sudah kadung tertanam di benak saya, bahwa guru yang sering marah-marah di kelas adalah guru yang bodoh, kurang cakap, dan tidak becus mengajar. Celakanya, saya masih juga terpancing untuk marah-marah pada proses kegiatan belajar mengajar bersama anak-anak. Pada tahun pelajaran 2015/2016 ini, saya mengajar kelas 3 dengan jumlah murid paling sedikit dibandingkan kelas-kelas lain di sekolah kami. Namun, kelas dengan jumlah siswa yang sedikit ini ternyata tidak menjamin terciptanya situasi pembelajaran yang otomatis lebih kondusif. 

Dengan meluapkan kemarahan, meninggikan nada bicara, nyaris membentak, memang dapat membuat suasana kelas sejenak menjadi hening. Akan tetapi, yang sering terjadi, diam-diam rasa menyesal perlahan merayapi, menyesakkan dada. Terlebih ketika menatap mata anak-anak satu per satu, di dalam bening mata mereka menyiratkan rasa takut, perasaan bersalah (mungkin?) karena telah membuat gurunya marah, dan tertekan. Tentu situasi ini tidak sehat untuk perkembangan kejiwaan anak-anak. Ketika hal itu sudah terlanjur terjadi, sebisa mungkin saya berusaha mencairkan suasana, kembali mengajak anak-anak untuk bercanda. 

Beberapa hal yang sering jadi penyebab saya marah-marah adalah sebagai berikut:
1. Siswa berisik dan tidak memperhatikan penjelasan guru
2. Siswa memiliki kebiasaan jelek "keluyuran" di kelas
3. Pertengkaran atau perdebatan antarsiswa

Sebenarnya pada awal pembelajaran/pertemuan awal pada semester satu dahulu, saya sudah mencoba memahami keinginan siswa dalam pembelajaran. Namun, seiring berjalannya waktu, masih saja sering terjadi "keributan kecil".

Nah, ketidakkondusifan kelas ini, jujur saja kadang membuat saya kehilangan semangat dalam mengajar. Lelah dan capek kalau terus-terusan seperti ini. Ini tidak boleh dibiarkan. Oleh sebab itu, saya suka merenung, mencari akar masalah tersebut, dan berusaha mencari solusi, sesegera mungkin.

Persoalan pertama, mengenai siswa yang berisik dan tidak memperhatikan penjelasan guru, saya kira akar persoalan ada pada KESIAPAN. Baik kesiapan siswa, maupun kesiapan guru. Seperti yang saya tulis di atas, "Mana ada siswa yang sudah siap untuk belajar? Guru-lah yang harus menyiapkan mereka, mengondisikan mereka untuk benar-benar siap menerima pelajaran." Siswa datang dari rumah dengan motivasi, semangat, maupun kondisi yang berbeda-beda. Maka guru-lah yang harus mencari cara agar semua siswa siap menerima pelajaran. Inilah pentingnya apersepsi dan pemberian motivasi untuk siswa.

Acapkali pula saya kasih sedikit games kecil, permainan-permainan, maupun kegiatan mencongak untuk pembelajaran tertentu. Seperti Matematika, saya ajak anak-anak untuk mencongak perkalian maupun pembagian. Oya, penghargaan/reward juga mestinya diberikan kepada anak-anak. Misalnya, saya kasih kesempatan kepada anak yang mampu paling cepat menjawab untuk kemudian memilih tempat duduk yang diinginkan.

Untuk tahun lalu, saat saya mengajar kelas 5, saya beberapa kali mengajak anak-anak untuk bermain teka-teki baik itu sebelum pembelajaran, di tengah-tengah pembelajaran saat anak-anak mulai hilang konsentrasi (ini katakanlah sebagai selingan atau ice breaking), maupun kasih teka-teki di akhir pembelajaran bahkan untuk PR dengan maksud agar anak-anak bersemangat untuk datang pada pembelajaran esok hari.

(Beberapa teka-teki yang saya berikan kepada anak-anak, bisa Anda baca di sini)

Persoalan kedua, siswa yang suka "keluyuran" di dalam kelas, anjangsana ke bangku/meja temannya.

Untuk persoalan ke dua ini, akar persoalan menurut saya erat kaitannya dengan teknik, metode, atau cara mengajar dari masing-masing guru itu sendiri. Pembelajaran yang minim aktivitas siswa, terdapat jeda waktu yang terlalu longgar (misalnya saat aktivitas mengerjakan tugas/latihan, sementara alokasi waktu yang diberikan guru terlalu longgar).

Maka, seharusnya guru benar-benar mampu mengelola waktu dengan baik agar kemungkinan murid "menganggur" dan "ngomong sendiri", sehingga kegiatan pembelajaran pun berlangsung efektif.

Atau, jika memang pada dasarnya anak itu "tidak bisa diam" saja di tempat, mungkin bisa dicoba guru membuat skenario pembelajaran yang memungkinkan siswa/kelompok siswa saling berkunjung dan saling mengkritik/mengapresiasi karya dari siswa/kelompok lain.

Dalam hal ini, semestinya setiap guru mampu memikirkan strategi, teknik, dan metode yang tepat diterapkan di kelasnya.

Persoalan ketiga, pertengkaran dan perdebatan antarsiswa yang "tidak jelas".

Kadang-kadang memang saya suka tersenyum sendiri melihat anak-anak yang bertengkar gara-gara masalah yang sepele. Berdebat pun demikian, kadang-kadang mereka berdebat karena sebab yang sepele, tidak jelas, bahkan kadang ngotot saling "adu argumen". :) hihihi.

Kerukunan memang menjadi masalah yang cukup mengganggu. Yah, meskipun tidak rukunnya itu tidak sampai pada jotos-jotosan, tapi ketika anak-anak berdebat itu berisik sekali.

Lantas apa yang saya lakukan untuk mencoba mengatasi persoalan ini? Ada empat hal yang saya coba lakukan:

1. Secara berkala, saya mengatur tempat duduk anak secara acak. Tujuan saya agar anak-anak terbiasa berbaur dengan siapa saja. Jadi, tidak akan ada lagi "si ini cuman dekat dengan si itu".
2. Mengajarkan kepada anak untuk bicara pelan dengan nada suara sedang. Ya, nada bicara anak-anak ini menurut saya rata-rata tinggi semua. Meskipun bicara biasa, tetapi di telinga saya, anak-anak itu terdengar seperti orang yang memarahi atau membentak.
3. Peraturan yang tegas dan konsisten. Anak-anak saya ajak untuk bersama-sama menyusun/membuat peraturan dan tata tertib mereka sendiri. Motivasinya cukup jelas, yaitu melatih anak bertanggung jawab, dan konsekuen pada apa yang mereka atur sendiri.
4. Mengajarkan kepada anak bahwa "Seribu teman masih kurang". Bahkan demi tujuan tersebut, pada penerimaan raport semester gasal lalu, saya menyusun buku puisi bersama dengan judul: Kumpulan Puisi Keluarga 3B. Keluarga 3B, bukan murid-murid 3B, untuk menegaskan bahwa pertemanan di kelas kami adalah seperti sebuah keluarga yang saling menjaga, menyayangi, dan mengasihi. (Baca buku kumpulan puisi keluarga 3B)

***
Di samping cara-cara tersebut, ada satu lagi cara saya agar bisa mengelola kelas tanpa marah-marah. Yaitu, dengan cara mendoakan mereka, murid-murid yang hebat itu, di dalam/selepas shalat.

Demikianlah ikhtiar saya untuk mengelola kelas, meminimalisir hasrat ingin marah-marah.

Nah, apakah Anda sebagai guru juga mengalami masalah serupa? Lantas bagaimana solusi Anda untuk mengatasi permasalahan tersebut? Silakan Anda tuliskan di sini, agar kami bisa juga belajar dai pengalaman Anda. Terima kasih.
close