Kisah Penebang Kayu dan Kapaknya *

rifanfajrin.com

Alkisah hiduplah seorang penebang kayu. Saban hari dia bersama istrinya pergi ke hutan untuk memotong kayu pilihan. Kayu yang didapatkannya kemudian dia jual untuk hidup sehari-harinya. Untuk menuju hutan, dia harus melewati sebuah sungai yang airnya sangat deras dan jernih.

Suatu hari, selesai dari pekerjaannya, dia bersama istrinya pun membasuh muka di sungai yang setiap hari selalu mereka lewati tersebut. Sang penebang kayu meletakkan kapaknya di atas batu. Akan tetapi, setelah selesai membersihkan badannya, betapa terkejutnya sang penebang kayu ketika dia tak mendapati kapak miliknya di atas batu tempat dia meletakkannya tadi. Istrinya pun tak kalah terkejutnya.

Sang penebang kayu dan istrinya pun mencari kapak tersebut. Mereka hampir putus asa karena kapak itu tidak kunjung mereka dapatkan. Akhirnya, sang penebang kayu berdoa dan memohon kepada Dewata.

“Dewa, kami telah kehilangan sebuah kapak. Kapak itu sangat berarti bagi kami. Dengan kapak itulah keluarga kecil kami hidup. Tolonglah, Dewa! Kami mohon kembalikan kapak kami!”

Dewa pun mendengar ketulusan doa sang penebang kayu. Dewa pun menyodorkan sebuah kapak emas kepada sang penebang kayu.

“Apakah kapak emas ini yang kau cari?” tanya Dewa.

“Bukan, Dewa. Kami tak pernah memiliki sebuah kapak emas seindah itu,” jawab sang penebang kayu.

Dewa pun kemudian menyodorkan lagi sebuah kapak. Kali ini bukan sebuah kapak emas, tetapi sebuah kapak berlapis perak.

“Apakah ini kapakmu yang hilang itu?” tanya Dewa lagi.

“Bukan, Dewa. Bukan kapak berlapis perak itu yang kami cari dan kami butuhkan. Kapak kami sudah agak tua dan usang karena saban hari kami gunakan,” jawab sang penebang kayu.

Dewa tersenyum mendengar jawaban jujur sang penebang kayu. Akhirnya diberikanlah kapak tua dan usang yang sama persis dengan kapak sang penebang kayu.

“Inikah kapak yang kau cari?” tanya Dewa.

“Benar, Dewa. Inilah kapak yang kami minta dan kami butuhkan,” jawab sang penebang kayu setelah diamatinya kapak tua dan usang pemberian Dewata. Sang penebang kayu merasa bahwa memang kapak itulah miliknya yang hilang.

“Terima kasih, Dewa,” ujar sang penebang kayu sambil mohon diri kepada Dewa.

“Tunggu,” kata Dewa, “karena Aku tahu, kau adalah orang yang jujur, maka bawalah semua kapak yang kautolak tadi. Bawalah pulang kapak emas dan kapak berlapis perak itu serta. Semuanya kuberikan padamu, semuanya telah menjadi milikmu sekarang.”

“Baiklah. Terima kasih, Dewa,” jawab sang penebang kayu dan istrinya.

Hari mulai petang ketika sang penebang kayu dan istrinya melangkah pulang ke rumah mereka dengan hati yang riang.
***

Beberapa waktu kemudian... Sang penebang kayu dan istrinya masih pergi ke hutan untuk menebang kayu pilihan.

Suatu hari, selesai dari pekerjaannya, dia bersama istrinya pun membasuh muka di sungai yang setiap hari selalu mereka lewati tersebut. Akan tetapi, betapa terkejutnya sang penebang kayu ketika tiba-tiba istrinya terjatuh dan hanyut terbawa arus sungai yang deras itu. Segera saja sang penebang kayu melompat mengejar istrinya yang hanyut.

Namun, sia-sia saja usaha sang penebang kayu untuk menyusul dan menyelamatkan istrinya. Sang penebang kayu terduduk lemas dan ia putus asa. Di tengah keputusasaannya, sang penebang kayu teringat akan Dewata yang telah mengembalikan kapaknya dan memberinya kapak emas dan perak. Dengan segala kerendahan hati, sang penebang kayu pun kembali memohon kepada Dewata untuk mengembalikan istrinya.

“Dewa, engkau tahu betapa malangnya diriku. Jiwaku kosong setelah derasnya arus sungai ini melenyapkan istriku. Dewa, kasihanilah aku, kembalikan istriku, aku mohon,” lirih doa sang penebang kayu.

Dewa pun mendengar getaran doa sang penebang pohon. Dewa pun menghadirkan seorang perempuan yang sungguh jelita di hadapan sang penebang kayu.

“Apakah dia adalah istrimu?” tanya Dewa.

Sang penebang kayu pun takjub akan kecantikan dan kemolekan perempuan itu. Seumur hidupnya, baru kali ini sang penebang kayu melihat seorang perempuan seindah itu.

Setelah sejenak termenung, akhirnya sang penebang kayu pun menghela napas dan menjawab pertanyaan Dewa, “Benar, Dewa! Perempuan ini adalah istriku yang hanyut.”

Sang Dewa pun heran mendengar jawaban penebang kayu.

“Wahai, mengapa kau tidak jujur padaku? Dahulu ketika kapakmu hilang, kau mampu berkata jujur. Akan tetapi, kenapa giliran istrimu yang hanyut, kau langsung mengiyakan ketika kuhadirkan kepadamu seorang perempuan cantik nan jelita? Apakah perempuan cantik telah melenakanmu?” tanya Dewa setengah menghardik.

Apa jawaban penebang kayu kepada Dewata?

“Dewa, maafkan ketidakjujuran hamba ini. Mohon dengarlah isi hatiku, Dewa! Dahulu, ketika aku kehilangan sebuah kapak, aku menjawab jujur bahwa kapak emas dan perak itu bukanlah milikku. Atas kejujuranku, engkau malah memberikannya semua kepadaku, Dewa. Maka aku pun membawanya pulang, menyimpan, dan merawat semua kapak itu di rumah kecilku.

“Namun, sekarang ketika istriku hanyut, engkau menghadirkan kepadaku seorang perempuan cantik. Maka dengan sangat terpaksa aku mengiyakannya bahwa perempuan cantik itu memang istriku, Dewa! Sebab, aku sanggup menyimpan dan  merawat sebuah kapak emas dan sebuah kapak berlapis perak di rumahku. Namun, sepertinya aku tak akan sanggup bila harus menjaga, merawat, dan menghidupi dua orang—atau mungkin lebih—perempuan cantik yang pasti akan kau berikan juga kepadaku kalau aku menjawab jujur! Maka, lebih baik aku membawa pulang seorang saja perempuan cantik ini, ketimbang aku harus hidup bersama beberapa istri sekaligus!” jawab sang penebang kayu.

Ah, goblok sekali sang penebang kayu! []

*) Cerita ini saya dengar dari Dr. Bambang Budi Raharjo, M.Si. yang sekarang menjabat sebagai Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan Universitas Negeri Semarang Unnes. 
Mungkin beberapa bagiannya, atau dialognya, tidak sama persis. Namun, kira-kira begitu.
Oya, kalimat “Ah, goblok sekali sang penebang kayu!” itu bukan dari beliau Bapak Bambang Budi Raharjo, tetapi itu dari saya. Hehehe. ^_^

Dr. Bambang Budi Raharjo, M.Si
Dr. Bambang Budi Raharjo, M.Si. (Sumber: unnes.ac.id)
close