Kartini


Arsip Cerpen

Jalinan cinta Kunto dan Kartini sudah cukup lama. Baik Kunto maupun Kartini menyadari, perasaan cinta mereka sudah mekar sejak duduk di bangku kelas satu sekolah menengah. Sekarang Kunto hampir selesai studinya. Dua bulan lagi dia akan menjadi sarjana. Sementara Kartini sekarang masih kerja di pabrik tekstil.
Kartini tak sabar menanti Kunto lulus dan segera menikahinya. Sebagai seorang gadis yang sudah lewat dua dasawarsa, itu sangat wajar baginya. Apalagi Kartini sering merasa khawatir kalau-kalau Kunto berpaling ke lain hati. Kartini akan merasa sia-sia menanti Kunto kuliah bertahun-tahun jika itu benar-benar terjadi.
Maka, malam Minggu, di teras rumahnya Kartini menggoda Kunto. Tepatnya, menanyakan kesetiaan Kunto. “Tentu saja di kampusmu sana kamu banyak dikelilingi oleh cewek-cewek yang ayu, Kun.”
Kunto diam saja, membuat Kartini kembali berujar, “Mungkin tidak ada yang kampungan seperti aku ini!”
“Memang tidak ada yang seperti kamu, Tini. Kamu yang ayunya asli dan awet, adanya cuma di sini,” sahut Kunto.
“Memangnya aku produk buatan Jepang, kok dikatakan asli dan awet?” protes Kartini. “Aku made in Indonesia asli lo, Kun.”
Kartini senang mendengar jawaban Kunto meskipun dia tidak tahu, Kunto berkata jujur, asal-asalan, atau menggombal.
“He-he-he. Soal ayu-ayuan, gadis Indonesia tidak kalah dengan luar negeri!”
“Lalu, gadis Jepang yang pernah dolan ke sini itu?” Kartini mendorong pelan lengan Kunto dengan telunjukknya.
“Oh, aku tidak pernah jatuh cinta kepada Shiori. Karena aku tidak bisa bahasa Jepang,” jawab Kunto sekenanya. “Terkendala bahasa, susah untuk bilang cinta.”
“Lo, berarti kamu pernah suka padanya dong, Kun! Huuu!” Kartini cemburu.
“Ha-ha-ha! Kalau aku suka padanya, tidak mungkin malam Minggu begini aku memilih pulang dan menemuimu, Tini.”
“Huuu! Pulang menemuiku enam bulan sekali saja kok dijadikan dasar!”
Kunto beranjak hendak pulang. Namun Kartini tetap duduk di kursinya. Ia menatap lurus ke depan. “Kun, aku membayangkan cinta kita bisa seperti Romeo dan Juliet,” Kartini berkata pelan.
“Oh, kamu sudah selesai menontonnya, Tini?”
“Iya, aku suka sekali. Kun, kamu punya filmnya Di Caprio lagi?”
Kunto sejenak terdiam. Ia mengingat-ingat koleksi film miliknya.
“Kamu sudah menonton ‘Titanic’?” tanya Kunto akhirnya.
Kartini menggeleng.
“Ha-ha-ha! Kamu ini memang ketinggalan zaman, Tini!”
Kartini kesal diejek begitu. Namun, biasanya dia kembali mesra ketika Kunto datang lagi dan membawakannya film-film percintaan yang romantis. Meskipun demikian, hingga malam itu dia tidak pernah mengizinkan Kunto menciumnya seperti di film-film kesukaannya itu.
“Aku pulang dulu, besok pagi kubawakan film itu untukmu!” Kunto melangkah pulang.
***

Rabu malam Kunto ke rumah Kartini lagi. Dia akan pamit sebab akan kembali ke kampus keesokan harinya. Untung saja Kartini masuk pagi sehingga dia sudah berada di rumah sore harinya.
“Kau memang tidak pernah punya waktu lama kalau di rumah, Kun. Sebenarnya aku masih ingin berlama-lama ada dekat denganmu,” kata Kartini sambil tersenyum.
Malam itu, di mata Kunto, Kartini cantik sekali. Lebih cantik daripada biasanya. Senyum yang biasa dia berikan sebenarnya. Tapi entah mengapa, senyum yang indah itu lebih kuat menimbulkan nafsu birahi pada diri Kunto.
“Tini,” Kunto berkata pelan sekali. Namun, Kartini bisa mendengarnya. “Besok pagi aku pergi.”
“Ya, Kun. Kau sudah berkali-kali mengatakan hal itu kepadaku.”
Kunto tidak menjawab  perkataan Kartini. Dia terus memandang wajah Kartini dalam diamnya.
Kartini terpaku pada tatapan tajam Kunto. Dia terdiam sejurus, seolah tersihir.
Plak!!! Kartini menampar muka Kunto saat disadarinya Kunto hendak menciumnya. Bibir Kunto sudah dekat sekali dengan bibirnya.

Wajah Kartini memerah. Begitu juga Kunto. Baik Kunto maupun Kartini menyadari bahwa keduanya sama-sama terkejut. Namun, mereka berdua juga tidak bisa memastikan, siapakah dari keduanya yang lebih berhak untuk marah.
“Aku...” mereka berkata hampir bersamaan. “Baiklah, kamu dahulu,” kata Kunto.
“Aku memang tidak berpendidikan tinggi, dan aku kampungan, Kun. Tapi kau tidak bisa memaksaku.”
Kunto muak mendengarkan kata-kata Kartini. Malam itu ia merasa Kartini menjelma menjadi gadis kampungan yang angkuh. Dia sangat ketinggalan zaman namun cantiknya bukan kepalang.
Kini gilirannya berkata. “Aku besok pagi akan pergi,” katanya singkat.
Tanpa menunggu jawaban Kartini, Kunto beranjak pergi.
Kartini menatap kepergian Kunto. Air matanya menetes. Ia tak tahu, perasaan apa yang menyebabkan ia menangis. Inilah air mata pertamanya dalam jalinan cinta kasihnya dengan Kunto.
Kunto pulang menembus pekat malam. Sebelum dia menikahi Kartini, selamanya mustahil bagi dia untuk bercinta dengan gadis ayu itu. Jangankan bercinta, mengecup keningnya saja dia tidak bisa.
Angin malam meniup rambut Kunto. Tiba-tiba saja dia ingin sesegera mungkin menemui Shiori. Gadis Jepang itu sudah beberapa kali merengek kepada Kunto agar menggambar dirinya, seperti Jack Dawson menggambar Rose Dewitt Bukater dalam film “Titanic”, The Ship of Dreams dari Liverpool. []

Ambarawa, 24 April 2013

M. Rifan Fajrin__Lahir dan tinggal di Ambarawa, kini berproses kreatif bersama Komunitas Penulis Ambarawa.

*) Cerpen ini dimuat di Majalah Pendidikan Merah Putih, Nasima Semarang Edisi 51 Mei 2013
close