Mentalitas: Apa yang Kita Perjuangkan?

[Catatan Kecil Diskusi Tentang “Mentalitas” – Komunitas Godhong, 27 Juni 2012]

Mental. Sejauh apa memaknai kata “mental”? Itulah tema yang ditawarkan oleh Komunitas Godhong dalam diskusi perayaan Sewindu Ultah Komunitas Godhong. Fiqi Haffaff dan Luthfiar Laeis mengawali dengan menyodorkan ilustrasi seorang kawannya yang lama tinggal di Jepang, hingga persoalan mentalitas yang ada di sekitar: tentang pelanggaran lalu lintas menerobos traffic light, pencemaran lingkungan yaitu membuang sampah organik dan anorganik yang sembarangan, hingga pengabaian terhadap kelestarian lingkungan dengan pembangunan gedung-gedung di area penghijauan, bersembunyi di balik topeng konservasi(?). Seperti apa?

Saya sendiri tidak pernah mengecek di dalam kamus untuk mengetahui apa itu mental dan mentalitas. Pada kesempata itu saya hanya membeber sebuah ilustrasi, bahwa berbicara di dalam sebuah forum pun memerlukan mental yang cukup. Tidak hanya berbicara, juga untuk tampil terutama di depan khalayak selalu memerlukan mental yang kuat. Lalu, jika seseorang tidak berani untuk sekadar tampil atau berbicara di depan umum, yang kemudian muncul adalah ungkapan-ungkapan “mental telo (ketela)”, atau “mental tempe”, dan sebagainya. Begitukah? Mengapa ketela, dan tempe, yang itu merupakan beberapa kekayaan kuliner nusantara dengan berbagai macam dan ragamnya?

Diskusi sempat bergeser dan melebar kepada salah satu persoalan mentalitas, yaitu tentang plagiarisme dan jiplak-menjiplak karya. Saya sendiri mengatakan, bahwa dalam berkarya yang terpenting adalah adanya kejujuran. Dalam berkarya, kejujuran itu sendiri adalah mengungkapkan sesuatu yang memang kita tahu, kita pahami, bahkan kita menguasai tentangnya. Bagaimanapun, ide/gagasan terhadap sesuatu bisa saja datang dari beberapa orang baik pada saat yang bersamaan maupun tak bersamaan, pada tempat yang sama, maupun tempat yang berdekatan bahkan berjauhan dan terpisah-pisah. Tetapi, jika kita berhasil menampilkannya secara jujur dari mengeluarkannya dari diri sendiri, mengungkapnya dengan gaya dan ciri khas diri sendiri, maka itulah kejujuran dalam berkarya.


Mengembalikan diskusi pada tema awal yang ditawarkan oleh kawan-kawan Komunitas Godhong, Pak Gunawan Budi Susanto (Kang Putu) membeberkan bahwa orang-orang Jepang turun-temurun membaca kisah Musashi. Melalui cerita epik Musashi, Pendekar Samurai Jepang yang melegenda, rakyat Jepang belajar berideologi, belajar tentang nilai-nilai, dan bagaimana bersikap. Hingga banyak dari rakyat Jepang lebih memilih untuk bunuh diri untuk menjaga kehormatan, atau karena telah melakukan perbuatan yang merusak kehormatan mereka. Cerita Musashi ini sebagai pengantar sekaligus menjelaskan mengapa orang-orang Jepang begitu kuat tentang mentalitas.

Sejurus dengan itu, mentalitas sangat berkait dengan ideologi. Idealisme tertentu itulah yang akan membentuk mentalitas seseorang. Kang Putu kemudian membacakan sebuah sajak, yang telah ia persiapkan untuk mengikuti diskusi malam itu. Sebuah sajak dari Wiji Thukul, berjudul "Sajak Tikar Plastik-Tikar Pandan".

Sajak Tikar Plastik-Tikar Pandan
tikar plastik tikar pandan
kita duduk berhadapan
tikar plastik tikar pandan
lambang dua kekuatan
tikar plastik bikinan pabrik
tikar pandan dianyam tangan
tikar plastik makin mendesak
tikar pandan bertahan
kalian duduk di mana?
solo, april 88

Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana dengan mentalitas kita? Berkait dengan ideologi apa yang kita pakai, Apa/siapa yang hendak/sedang kita perjuangkan?

Sebagai contoh yang disodorkan pada malam itu, manakah yang kita pilih: duduk di atas tikar pandan atau plastik? Lalu, meminum air kemasan atau air putih yang kita masak sendiri? Air kemasan adalah bentuk swastanisasi/privatisasi yang hanya memperkaya orang per orang/kelompok tertentu yang memiliki modal atas kekayaan sumber daya alam Indonesia. Padahal di dalam Undang-Undang Dasar sendiri telah jelas disebutkan pasal 33 ayat 3: Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hal itu ditambah lagi dengan limbah/sampah plastik yang ditimbulkan dari air minum kemasan, sedangkan botol plastik termasuk yang paling lama dapat diuraikan. Nah, pilihan itu akan sangat menentukan seperti apa mentalitas kita, kata Kang Putu.

Bisa jadi, kita masih terlalu malas untuk mewujudkan apa yang kita perjuangkan. Mungkin juga kita gagap untuk mengidentifikasi apa yang sebenarnya hendak kita perjuangkan, tidak ada sikap yang jelas mana yang hendak dipilih. Kita sudah menjadi generasi instan yang dimanja oleh keadaan. Lalai.

Hadir dalam diskusi tersebut adalah Achiar M Permana, Sendang Mulyana, dan M Burhanuddin.
Achiar  M Permana menambahkan, setiap sesuatu hal yang berhubungan dengan mentalitas dan sikap kedisiplinan, mengapa di dalam kita selalu saja tiba-tiba tertuju pada negara-negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, atau Jepang dan Amerika? Padahal, di dalam budaya dan kearifan lokal, Jawa tidak kalah kaya? Di dalam kebudayaan Jawa, dan Indonesia, sebenarnya telah mengajarkan nilai-nilai luhur. Barangkali pula kita terjebak pada pola pikir yang foreign minded, dan celakanya kita sudah lupa bahkan tidak mengenal sama sekali pada kebudayaan kita sendiri. Rasanya inilah yang seharusnya menjadi perhatian kita.

_____

(NB+) : Catatan ini kiranya jauh dari sempurna, masih banyak yang luput untuk saya sampaikan di sini. Barangkali pula terdapat kesalahan pada cuplikan ulasan pada catatan kecil ini, terutama bila menyangkut nama-nama yang saya sebutkan di atas.
Mohon maaf, dan bila ada koreksi dan tambahan untuk tulisan ini, saya sangat terima kasih.


close