Nyanyian Seekor Burung Pipit

Pagi hari jauh sebelum matahari perlahan-lahan mulai muncul dari ufuk timur aku telah terbang dari dahan ke dahan sambil bertasbih memuji-Nya. Aku senantiasa bersyukur hingga saat ini aku masih dapat dengan leluasa terbang ke sana kemari. Oh, alangkah indahnya pagi ini kurasakan. Angin yang semilir membelai bulu-buluku yang lembut perlahan, sejuk terasa membangkitkan semangat dan gairah dalam hidupku. Dan ketika matahari benar-benar telah muncul dari ufuk timur, aku benar-benar merasakan kehidupan yang segera akan dimulai.
Aku tak pernah bosan menjalani hidup ini. Setiap pagi datang aku pasti akan bertasbih memuji-Nya, kemudian terbang dari dahan ke dahan, barangkali akan kutemui makanan di sana, kemudian aku akan terbang lagi kemanapun aku suka, dan kadang aku sengaja terbang menjelajahi tempat-tempat yang masih asing bagiku. Aku menginginkan suasana yang baru yang belum pernah aku temui sebelumnya. Begitulah aktifitasku hingga hari menjelang sore. Dan aku mesti kembali lagi ke peraduanku untuk sejenak melepaskan lelah dan mempersiapkan hari esok yang pasti akan datang kembali.
Aku biarkan hidupku mengalir bagaikan air, toh aku tidak paham akan arti hidup ini selain hanya untuk bertasbih memuji-Nya. Berbeda dengan kehidupan manusia yang kusaksikan kadang terasa sungguh aneh. Aku kadang bertanya, apakah memang beda antara kehidupanku dengan kehidupan manusia? Mengapa mereka harus sampai bersusah payah membangun gedung-gedung yang tinggi, menciptakan kebisingan di pagi hari yang seharusnya sunyi, dan mengapa pula mereka kadang mesti berkelahi dengan sesama mereka? Entahlah. Aku merasa kehidupanku dengan kehidupan manusia memang  sangatlah berbeda, dan entah sampai kapan kehidupan yang kurasakan ini akan berakhir? Aku tidak tahu pasti.
Terkadang aku jadi teringat kepada ayah dan ibuku. Kemanakah perginya mereka? Masih tergambar jelas di benakku tatkala mereka berdua bahu-membahu mencari makanan untukku dan untuk kedua saudaraku. Dan setelah mereka mendapatkan makanan itu, mereka dengan sabar senantiasa membimbing aku dan saudaraku dan menyuapkan makanan itu. Mereka jugalah yang senantiasa melindungi ketika hari mulai petang, atau pada saat mendung menyelimuti langit. Dan pula pada saat hujan benar-benar mengucur deras dari langit yang kadang disertai dengan kilatan-kilatan cahaya dan petir yang menggelegar, mereka semakin rapat mendekap kami bertiga. Hingga mereka juga dengan sabar dan telaten melatihku menguatkan tulang-tulang sayapku dan mengajariku terbang dengan perlahan-lahan.
Aku benar-benar merasakan kedamaian dalam hidup ini. Namun tatkala pada suatu pagi aku tidak mendapati ayah dan ibuku berada di tempat, aku dan kedua saudaraku mulai merasa panik. Entah apa sebab kepanikan itu. Saat itu aku merasa itu semua hanya disebabkan karena aku dan kedua saudaraku belum terbiasa saja hidup sendirian. Padahal saat itu kami sudah bisa terbang. Mungkin itulah yang menyebabkan ayah dan ibu pergi meninggalkan kami.
Hingga akhirnya pada pagi hari selanjutnya aku terpisah dari kedua saudaraku. Kadang aku merasa sedih. Kemanakah saudara-saudaraku, kawan-kawanku, dan juga ayah ibuku? Mengapa mereka begitu tega meninggalkan aku sendirian? Kadang pula aku merasa iri kepada sekawanan semut yang bergerombol merayap dari dahan ke dahan lantas masuk ke dalam liang sambil menyeret bangkai seekor belalang atau bangkai cicak yang telah terputus ekornya.
Aku semakin bertambah sedih ketika pada suatu siang, ketika aku hinggap ke sebuah pohon beringin, aku mendapati sekumpulan semut sedang mengerumuni sesuatu. Aku lantas mendekati mereka. Oh tidak! Aku terpekik. Rupanya semut-semut itu sedang merubung bangkai kawanku. Dengan cepat aku menyibak kerumunan mereka. Kulihat tubuh kawanku itu berlumuran darah. Aku dapati perutnya menganga, sebuah peluru kecil tepat bersarang di temboloknya.
Aku menahan tangis. Aku tidak habis pikir mengapa manusia begitu tega melakukan ini? Apa salah kami? Sempat terbersit pula dalam fikiranku, jangan-jangan ayah dan ibuku, beserta saudara-saudara dan kawan-kawanku yang lain juga menghilang meninggalkanku dengan cara yang sama seperti ini! Aku berteriak. Namun suaraku terdengar sungguh serak dan parau.
Aku segera menggali sebuah lubang dengan paruhku dan kedua kakiku. Aku tidak tahu dan bahkan tidak yakin apakah aku sanggup untuk menggali sebuah lubang untuk menguburkan kawanku. Apalagi baru kali ini aku menggali sebuah lubang. Dan aku sebenarnya tidak pernah melihat keluargaku melakukannya. Namun aku melakukan ini setelah kemarin aku melihat mayat seorang manusia juga dikuburkan di dalam tanah. Aku terus berusaha menggali tanah itu. Menjelang sore aku masih belum bisa menggali sebuah lubang untuk menguburkan kawanku yang malang.
Aku hampir putus asa, hingga aku meraskan angin bertiup agak kencang berhembus menerpa bulu-buluku. Dahan-dahan tersibak. Aku menengadah ke langit, awan yang sedikit mendung menutup langit yang semakin terlihat kelam. Aku mendesis kegirangan. Karena sebentar lagi sebuah lubang akan dapat dengan mudah tergali.
Sebentar kemudian hujan yang sungguh deras disertai petir yang memekakkan telinga pun mengguyur bumi tempatku berpijak. Tak peduli dengan hawa dingin yang menusuk dan menyerangku, aku menyeret bangkai kawanku itu ke dalam lubang yang belum selesai kugali. Sebentar kemudian aku pun telah berhasil memasukkannya ke dalam lubang. Dan aku segera menimbun lubang itu dengan sisa-sisa tanah bekas galian.
Hujan turun semakin deras. Aku semakin kedinginan. Tubuhku bergetar. Dan kurasakan sayap-sayapku melemah. Mendadak pandanganku menjadi kabur dan gelap. Sangat gelap. Dan aku tak ingat apa-apa lagi.[]

*Cerpen ini dimuat di Buletin Babat Alas.
close