Hakikat Telanjang

Arsip Artikel

Blaik!!! Setelah menuliskan judul tulisan ini, tahu-tahu saya merasa miris. Awalnya saya tak berpikir jauh kalau judul demikian ternyata riskan betul. Sadar-sadar, agak PARNO juga kalau ujung-ujungnya saya dituduh ber-utek ngeres alias PORNO. Sudahlah, sudah terlanjur kok, lanjut saja.
Eits! Jangan keburu berkerinyut kening, berdiri bulu roma, atau aliran darah berdesir gitu dong. Atau malahan hoek muntah-muntah. Sebenarnya tujuannya begini, bahwa kita sering bilang, “Ayo, bareng-bareng kita telanjangi! Kita bahas karya dia, puisi dia!” Nah!
“Wah! Malu dong, bro? Kalau bahasanya telanjang, biarpun yang dimaksud puisi atau karya sastra, berarti dalam karya itu ada sesuatu yang memalukan dan musti ditutupi. Bukan begitu? Artinya, puisinya jelek dong?”

Sebentar. Ketika kita dilahirkan, keadaannya telanjang dan kita tak merasa malu tuh? Sebab, telanjang seperti itu bisa menunjukkan kepolosan, kejujuran, dan kesahajaan. Anggap saja, puisi pun seperti itu. Katanya, sebagai suatu produk seni, bukankah yang utama adalah ia diciptakan dengan penuh kejujuran, kepolosan, tanpa kemunafikan?
Iwan Fals pernah menyanyikan lagu judulnya “Air Mata”, begini—Di sini kita bicara dengan hati telanjang. Lepaslah belenggu, sesungguhnya lepaslah... Ebiet G Ade pun pernah menulis sesuatu: “Untuk Kita Renungkan” begini—Kita mesti telanjang dan benar-benar bersih, Suci lahir dan di dalam batin. Tengoklah ke dalam sebelum bicara, singkirkan debu yang masih melekat...
Telanjang bisa juga dimaknai jujur dan bersih. Dua sifat itu pula yang mustinya kita bawa kalau kita hendak menghadap kepada Tuhan Yang Maha Esa agar Dia mau menerima kita. Waduh, kok Mas-nya malah makin ngelantur begini ya?
Baiklah, cerpen “Pertobatan Aryati” yang sebelumnya berjudul “Pintu” ketika dimuat di Jurnal Kebudayaan Ulumul Qur’an karya Ahmadun Yosi Herfanda, perlu kita rujuk. Cerpen bergaya religius-sentimental yang semangatnya begitu sufistik, yakni semangat untuk menghadap Tuhan setulusnya tanpa embel-embel apapun. Dikisahkan seorang pelacur bernama Aryati sudah bosan berkubang di lumpur hitam. Tapi ketika ia mau bertobat, banyak sekali kesinisan dan cibiran, serta berton-ton pesimisme orang-orang sekitarnya. Bahkan berkali-kali ia gagal dalam ritual sembahyang, mulai dari suara lagu dangdut yang menerobos menyerbu telinganya dan membanjiri kolam hatinya ketika ia belum sempurna membaca iftitah, hingga bayangan hitam masa lalunya yang merengkuh dan meremuknya hingga luluh lantak berkeping-keping!—Aryati lemas dan tertidur dalam salatnya.
Pada akhirnya Aryati menuju masjid. Namun sayang, pada malam buta, ia hanya bisa masuk sebatas serambi masjid, tak bisa masuk sebab terhalang pintu yang terkunci. Ia merasa Tuhan tak mau membuka pintu-Nya. Ia mencakar-cakar tubuhnya, menari-nari di atas robekan pakaiannya. “Kurobek-robek tubuhku agar tinggal jiwaku yang polos menghadap-Mu!” teriaknya. Aryati lemas, terpuruk, melepas jiwanya menembus Pintu.
Kembali ke laptop! Maka, enjoy saja kalau puisi kita ditelanjangi, maaf, maksudnya dibahas-diapresiasi, dinikmati bersama. Lebih sip lagi, sambil ngemil dan ngopi-ngopi. Maturnuwun. Salam.[]
close