Es Krim

Seharusnya Asep merasa senang dan tenang. Acun, penjual es krim keliling itu tak lagi berhenti di depan rumahnya setiap hari mulai sore dan menggerincingkan genta. Sebab, setiap genta itu gemerincing, anak perempuannya, Lina, selalu merengek minta es krim. Dan Lina yang sebentar lagi masuk TK itu tak akan berhenti merengek. Bahkan kemudian menangis keras jika permintaannya tak dikabulkan.
Tentu saja Asep merasa jengkel. Ia tidak jengkel kepada anaknya yang kecanduan es krim. Tapi pada ulah Acun yang pasti secara sengaja tidak akan melepaskan semua pelanggan setianya—termasuk Lina—dengan cara “menggodanya” menjelang sore: menggerincingkan genta tepat di depan rumahnya!
Awalnya Asep no problem dan maklum saja kalau anaknya minta es krim. Tapi lama-lama keterusan, bagi Lina rasanya kurang lengkap kalau sehari belum menikmati es krim. Oya, harga sebatang es krim yang dijual Acun harganya Rp. 2000,00. Menyadari hal itu, Asep sering merasa pusing. Ia mulai menghitung, jika setiap hari Lina minta es krim, artinya Asep harus memotong pendapatannya paling tidak Rp. 60.000,00 tiap bulan hanya untuk es krim. Padahal, tidak jarang pula Lina minta dibelikan dua batang sekaligus.
“Ayah, Ayah! Satu, mana cukuuup?” kata Lina, dengan mahir meniru kata-kata sebuah iklan di tivi, membuat Asep kadang-kadang tertawa lebar. Asep merasa, anaknya pastilah anak yang cerdas, cepat betul mengingat iklan-iklan di tivi.

Tapi, bagaimanapun Asep tak ingin Lina kebanyakan jajan. Meskipun sejak istrinya meninggal beberapa bulan setelah melahirkan Lina, Asep sudah pernah berjanji pada dirinya sendiri untuk selalu menyenangkan Lina, tapi bukan begini caranya. Mana mencari uang susah betul dirasakan oleh Asep.
Maka, suatu sore ketika Asep sedang tak banyak punya uang, terus-terang ia bilang kepada Acun.
“Cun, harusnya kamu kasih diskon khusus kalau ada pembeli setia seperti Lina,” katanya.
Acun senyum saja, ia hanya membatin kalau perkataan semacam itu tak lain hanyalah sekadar basa-basi. Meski belum terlalu lama ia berjualan, ia sudah berani menilai “lagu-lagu” yang diucapkan oleh setiap pembeli.
Tapi, ternyata Asep memang serius. Pada lain hari, ia bilang, “Wah, aku bisa bokek kalau begini terus caranya, Cun!”
Acun tertawa. Ia mengalah. “Baiklah, untuk sore ini sebatang es krim gratis buat Lina, Pak Asep.”
Tentu saja Lina melonjak-lonjak kegirangan. Tidak pakai lama Lina langsung masuk ke rumah, duduk manis di depan tivi, menonton film kartun sambil melahap es krim itu.
Nah, Acun tertawa, merasa menang. Dan entahlah, jika Acun merasa menang, apakah sebaliknya Asep merasa kalah? Tidak ada yang tahu pastinya. Yang jelas tiba-tiba saja Asep membentak Acun.
“Kalau besok kamu ke sini lagi, aku remuk endasmu, Cun!”
Ada yang berubah pada raut wajah Acun. Mendadak ia berhenti tertawa. Sesaat ia celingukan menyapu sekeliling. Ia pasti merasa sangat malu kalau saja orang-orang di sekitar melihat kejadian itu, atau mendengar suara Asep yang membentaknya. Matanya bertanya-tanya, menatap mata Asep yang rupanya ia tidak sedang bercanda. Asep sangat serius. Lalu, setelah beberapa saat hening, Acun memberanikan diri bertanya.
“Kenapa, Pak Asep?”
Asep mendekatkan mulutnya ke kuping kanan Acun. Katanya, “Memangnya aku ini bocah kemarin sore yang senang kamu kasih gratis sebatang es krim?! Persoalannya bukan melulu pada uang, Cun! Tapi kalau Lina nanti sakit sebab terlalu sering makan es krim, aku yang repot! Memangnya kamu sanggup membiayai kalau Lina sakit? Endasmu ana utek-e pora?!”
Sungguh, baik Acun maupun Asep sendiri sebenarnya sama-sama tidak menyangka kalau sore itu bakal ada acara bentak-bentakan. Namun, dalam lagu lama memang sudah dikatakan begini: Oh, apa yang terjadi, terjadilah...
Acun sendiri, dalam perjalanannya melanjutkan berkeliling menjajakan es krim-nya, ia hanya bisa pasrah. Dan seolah melanjutkan lagu itu: yang dia tahu, Tuhan penyayang umatnya. Yang dia tahu hanyalah menyambung nyawa.[1]
Sehari setelah kejadian sore itu Acun, penjual es krim keliling itu tak berhenti di depan rumahnya dan menggerincingkan genta. Ketika Lina selesai menonton film kartun, ia merengek.
“Ayah, aku mau es krim,” katanya pelan.
Asep sendiri yang memang yakin kalau Acun tak berani datang lagi, tenang-tenang saja. Katanya, “Oh, tunggu saja, Lina. Mungkin belum sampai ke sini. Sebentar lagi ia pasti datang.”
Ayah dan anak itu kemudian duduk-duduk di beranda rumah, santai. Kalau di tangan kanan Asep terselip sebatang rokok filter, tangan kanan Lina hanya menggenggam tangan kirinya sendiri yang terkepal dan meletakkannya di pangkuannya. Tiba-tiba saja ia merasa begitu ingin mendengar bunyi genta yang gemerincing. Namun, hingga magrib tiba, terpaksa Lina harus masuk ke rumah tanpa sebatang es krim di tangan mungilnya.
***

Nah, jadi seharusnya Asep merasa senang dan tenang. Asep memang telah memprediksi kalau kesukaan Lina makan es krim itu bisa dengan gampang dihentikan dengan cara “menyapihnya”—menjauhkan es krim sekaligus penjualnya, Acun. Hal itu dikuatkan juga dengan omongan ibu mertuanya yang bilang, “Ya, memang pada awalnya pasti akan rewel karena telah terbiasa. Tapi lama-lama juga pasti akan lupa dengan sendirinya.”
Ternyata, ceritanya belum selesai sampai di sini. Cerita berlanjut dan berubah menjadi rumit ketika Lina jatuh sakit. Mungkin bisa saja Asep bilang bahwa Lina sakit karena kondisi fisiknya menurun, atau kena angin, dan akhirnya jatuh demam. Namun, lagi-lagi Asep harus pusing waktu menyadari bahwa di dalam igauannya Lina kepingin es krim! Asep geleng-geleng kepala.
“Acuun, Acun! Acun atau racun kau ini?! Brengsek!” batinnya berteriak.
Asep pun mengompres dahi Lina, membawanya ke dokter, meminumkannya sirup obat rasa stroberi agar panas badan anaknya turun dan demamnya segera sembuh.
Namun, ternyata tiga hari berlalu, Lina masih saja demam dan mengigau: Es Krim! Kondisi ini tentu saja membikin Asep seperti kehilangan akal. Dia mulai berpikir untuk mencari Acun. Entahlah apa motivasinya. Barangkali saja bukan untuk meminta Acun membawakan es krim untuk anaknya, atau untuk minta tanggung jawab padanya membiayai seluruh biaya pengobatan sampai sembuh. Sekali lagi entah, pokoknya, dorongan batin Asep begitu kuat untuk segera menemui Acun.
Akhirnya Asep pergi mencari Acun. Ia bertanya-tanya kepada orang-orang, siapa tahu di antara mereka ada yang mengenal Acun dan tahu di mana rumahnya. Dan, sungguh beruntung, seseorang mau menunjukkan kepada Asep di mana rumah Acun. “Rumahnya Acun itu di sana. Bla-bla-bla. Jalan ini nomor sekian. Dari sini lurus, nanti belok kesana, lalu kesana.”
***

Asep mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Dari dalam, suara batuk mendahului jawaban atas salam itu. Benarlah. Acun yang membuka pintu, lalu mempersilakan Asep masuk.
Tanpa basa-basi Asep bilang, “Lina, sakit, Cun. Dan dia selalu mengigau tentang es krim.”
Didahului dengan batuk, dengan nada yang berat, Acun menjawab, “Beberapa hari setelah saya tidak menemui Lina, saya jatuh sakit. Mungkin saya kangen berat padanya. Anak perempuan saya yang meninggal, mungkin sebaya dengan Lina,” katanya datar saja.
Acun batuk lagi. Kali ini, Asep juga ikut-ikutan batuk. Ada semacam perasaan yang aneh menghantam-hantam dadanya sampai remuk. []
Semarang, 4/11/2011

[1] Diambil dari lagu Kupu-Kupu Malam, dipopulerkan oleh Titiek Puspa.

Cerpen ini dimuat di Harian Joglosemar, 18/12/2011
close