Cinta yang Misteri, Lalu Siapa Tahu?

Pada awalnya saya mencibir puisi, tidak begitu tertarik pada puisi. Saya lebih menyukai membaca cerita pendek daripada membaca puisi. Saat pelajaran membaca puisi (apalagi ketika harus membacakannya di depan kelas) adalah pelajaran yang paling membuat saya malas. Sebab, saya harus membacakannya dengan vokal yang bagus, penuh ekspresi, mimik wajah yang oke, dan sebagainya.


Kemudian pada waktu itu pelajaran puisi yang saya terima tidak banyak memberikan contoh-contoh karya puisi. Begitu pula tidak banyak mengenalkan pada para penulis puisi yang hebat. Keadaan itu membuat saya dan satu teman saya kemudian iseng-iseng berjalan-jalan ke perpustakaan sekolah untuk mencari beberapa puisi. Benarlah, kami menemukan puisi di Majalah remaja MOP dan Majalah Horison, Kakilangit.


Namun, ternyata sesuatu yang saling bertolak belakang kami alami setelah kami menemukan puisi. Mulai saat itu teman saya menyukai puisi sedangkan saya menjadi tidak tertarik. Teman saya menyukainya karena saat itu ternyata ia sedang Jatuh Cinta, sehingga alangkah gembiranya dia menemukan puisi cinta yang bagus itu. Padahal menurut saya, seseorang yang jatuh cinta adalah orang yang lemah, barangkali saya sebut juga sentimentil, wagu, atau satu tuduhan kejam: pikirannya cewek melulu! Lihat saja mereka yang jatuh cinta, ia jadi seorang pemalas, apalagi kalau sampai patah hati.


Begitulah, mengapa saya mencibir puisi.
***


Menulis pun saya lebih suka menulis cerpen daripada puisi. Berbeda dengan puisi, cerpen memberikan ruang yang lebih bebas dalam menuliskannya. Sedangkan puisi, saya terlanjur percaya ketika diajari bahwa puisi itu harus: padat, singkat tapi bermakna dalam, bagusnya puisi itu ketika multiinterpretasi, menyampaikan sesuatu tidak secara langsung atau tersirat, dsb, dst. Terus terang hal itu terasa begitu mengekang, membuat saya malas menulis puisi. Puisi yang merupakan karya sastra paling pendek daripada cerpen dan novel, menjadi susah dibuat.


Namun, untunglah keadaan memaksa kita untuk senantiasa belajar dan mengamati sesuatu, menemukan dan belajar memaknai pengalaman-pengalaman yang baru. Ya, kadang-kadang dalam keadaan tertentu mau tidak mau kita tetap harus mau “menyentuh” sesuatu yang bahkan kita tidak berminat padanya. Lagi-lagi, kali ini tugas kuliah memaksa saya mencari puisi dan membacakannya di depan kelas, dan akan dinilai! Pada saat itu saya mendapat mata kuliah “Membaca Indah” (kalau tidak salah sekarang bernama Ekspresi Lisan Sastra). Saya menemukan satu puisi karya Ismet Natsir yang kemudian saya pilih untuk dibacakan saat ujian. Judulnya “Aku Hanya Minta Sedikit”.


Aku tak minta dibikinkan jembatan cahaya
Atau sesuatu yang sulit direka
Aku hanya minta sedikit
Kau mengantarku sampai ke seberang
Tungkaiku lemah
Lagi pula kau tahu, aku penggamang


Aku pun tak minta dibikinkan selimut cahaya
Atau sesuatu yang mampu menghalau embun
Aku hanya minta sedikit
Kau menemaniku malam ini
Kau tahu,
aku tak tahan dingin [1]


Dari puisi itu saya bergumam, sepertinya begitu gampang Ismet Natsir membuat sebuah puisi. Saya merasa agak bisa memahami puisi itu. Saya sedikit berani berkata, “Puisi itu maksudnya begini dan begitu. Lagipula puisi itu terasa kocak, menghibur.”


Dari situ pula mulai kendur pemahaman saya bahwa puisi harus begini dan begitu seperti yang saya sebutkan sebelumnya. Meski demikian saya belum juga berani mencoba menulis puisi.
***


Lalu mengapa saya sekarang menulis puisi? Bukankah jika kita memaksakan sesuatu yang tidak suka, hasilnya pun buruk?


Atas pertanyaan yang sebenarnya bukan dari siapa-siapa, berasal dari diri saya sendiri itu, saya menjawabnya, “Apa susahnya untuk mencoba menemukan potensi, yang bila itu kemudian dikembangkan siapa tahu akan berbuah manis.”
Ya, resep siapa tahu saya rasakan cukup ampuh. Hidup memang penuh dengan misteri. Ada banyak jalan mencapai satu tujuan. Begitu pula dengan potensi. Ibarat perjodohan yang juga misteri, lagi-lagi siapa tahu?


Barangkali perjodohan saya dengan puisi pun demikian. Ibarat kisah cinta yang diawali dengan pertengkaran, atau ketidakcocokan, namun siapa yang dapat menebak akhir kisahnya? Sedangkan kejadian-kejadian yang saling mengait dan membentuk alur kadang terasa begitu gampang. Jika seorang laki-laki dan perempuan dari arah yang berlawanan mereka bertabrakan, maka kemungkinan yang ada setidaknya: 1) Ya sudahlah, anggap saja tidak terjadi apa-apa, dan lupakan, 2) Bisa jadi mulai saat ini kita bermusuhan, “kau dan temanmu adalah musuhku dan juga musuh temanku”, dan 3) mereka saling menatap, dan saling jatuh cinta, dan “temanku temanku teman kita”.


Begitu banyak kemungkinan yang disebabkan dari satu kejadian/satu hal saja.
***


Kini saya baru menyadari mengapa saya menulis puisi. Dan ternyata cinta. Bukan kecintaan saya kepada puisi. Namun, kecintaan pada seseorang yang ingin saya beri dia sebuah puisi. Jika dahulu teman saya repot mencari-cari di perpustakaan untuk sebuah puisi, maka saya mencoba menulisnya sendiri, meski saya sering merasa bahwa puisi itu sungguh jelek.


Entahlah. Apakah ini yang dinamakan ego, anggapan saya mengenai seseorang yang jatuh cinta, menjadi melebar, menjadi sangat tergantung, fleksibel. Setidaknya kini saya menganggap orang yang sedang jatuh cinta adalah orang yang sedang disayangi oleh Tuhan. Tiba-tiba saja ia menjadi lebih sering “berdialog” dengan Tuhannya, dan memohon seabrek-abrek harapan. Teman-teman saya yang sering menulis puisi, pun dalam anggapan saya mereka memiliki kecerdasan, serta kepekaan rasa yang hebat, yang kemudian diolah dalam baris kata-kata.


Tentu saja, kemudian saya berusaha cinta tak melulu soal laki-laki dan perempuan. Sebab, jika cinta adalah soal laki-laki dan perempuan saja, maka anggapan awal akan tetap berlaku: lemah dan malas. Kecintaan pada sesama manusia akan menghasilkan puisi yang humanis. Kecintaan pada satu tatanan yang baik, akan memunculkan puisi-puisi tentang kedamaian, atau justru satu protes dan perlawanan terhadap macam-macam ketimpangan. Kecintaan pada alam akan menghasilkan puisi yang harmoni. Dan sebagainya. Begitu pun dalam hubungan manusia sebagai makhluk dengan Tuhannya.


Akan tetapi, tuduhan terhadap keinginan berkarya yang setengah hati masih saja menghantui saya. Adalah haram menulis puisi jika kau tak sungguh-sungguh menuliskannya, apalagi kau menulis puisi masih coba-coba, apa sih yang kau tulis? puisi-puisi asal tulis yang dengan  bangga diaku sebagai “inilah puisi”, juga anggapan: “kau hanya butuh sedikit membual saja untuk membikin sebuah puisi”, terkadang masih terasa. Maka jika seperti itu, lupakan hasratmu untuk menjadi sastrawan (penyair)!


Satu-satunya hiburan bagi saya adalah dengan “memaksakan diri” berada pada posisi dimana terdapat sebuah pandangan bahwa: sastra ditulis untuk sastra itu sendiri. Sastra ditulis demi nilai estetisnya, tanpa muatan dan pretensi dari luar. Gao Xingjian mengatakan:


“Apa yang ingin saya katakan di sini adalah bahwa sastra itu hanya dapat menjadi suara individu dan selalu seperti itu. Tatkala sastra diusung sebagai himne suatu bangsa, bendera suatu ras, musik suatu partai politik atau suara suatu kelas atau kelompok, sastra berubah menjadi alat propaganda yang perkasa. Bagaimanapun, sastra seperti itu kehilangan jiwa sastrawinya, berhenti menjadi sastra dan menjadi pengganti kuasa dan laba.”[2]
Atau Imre Kertesz yang berkata bahwa ia menulis untuk dirinya sendiri dan tanpa pretensi apa-apa untuk dibaca atau memengaruhi orang lain. Ia beranggapan, pada akhirnya nanti, pada proses yang panjang si penulis, penulis akan melihat dirinya sendiri, dan sehingga ia nanti akan menulis untuk dirinya sendiri.


Begitulah kiranya, mengapa saya menulis puisi. Puisi-puisi yang entah dimanakah letak estetisnya, dimanakah letak “sastra untuk sastra”-nya, dan dimanakah letak jiwa sastrawinya. Namun, yang jelas saya berusaha bersungguh-sungguh menuliskannya. Jika pun saya tak kunjung bisa menulisnya secara sungguh-sungguh, setidaknya saya akan berpura-pura untuk bersungguh-sungguh menulisnya.


Seperti nasihat yang saya terima: “Saat kau tak mampu menangis saat berdoa merengek pada Tuhanmu, maka pura-puralah menangis saat berdoa menghadap pada-Nya!”
Salam. []


[1] Kira-kira bunyinya seperti itu. Saya tidak ingat persis. Judul buku antologi, penerbit, dan tahun terbit juga saya tak memperhatikannya waktu itu.

[2] (Pidato Nobel: Persoalan Bagi Sastra, Desember 2000)
close