Kesunyian Seorang Pecinta

Sekadar Catatan Terhadap Sajak Memutar Jantera, Menenun Air Mata karya Pramika Wardhani Sudiro
-----------

pada suatu ketika aku merasa melambung tinggi
terbang jauh ke awang-awang langit
sesaat kemudian aku terjatuh,
aku jatuh sejatuh-jatuhnya, aku patah sepatah-patahnya.
disebabkan oleh hempas angin yang terlampau lembut
disebabkan hujan yang hanya gerimis,
disebabkan oleh engkau yang bukan lagi milikku,
disebabkan oleh ia yang telah bersamamu...........

suatu ketika aku mencoba bangkit dan membaca nukilan sajak pujangga,
maka aku berhasrat menjadi ia,
suatu ketika aku mendengar nyanyian musisi,
maka aku berhasrat menjadi ia,
suatu ketika aku melihat keduanya sehingga akupun berhasrat jadi keduanya.

sehingga aku mampu menyanyikan sajak untuk merayu dan memenangkan hatimu kembali.
sedang aku telah jatuh dan patah, tak dapat lagi bersajak apalagi bernyanyi...
terkucil hidupku oleh perasaan yang aku bangun untukmu.
tersudut aku dengan KETAKSEMPURNAAN yang kusandang.
sedikitpun aku tak mampu berucap, sebab lidah ini kelu,
sebab hati terlanjur terluka tak dapat lagi MEMUTAR JANTERA cinta...
maka biar kubalut sendiri luka jatuh ini, maka biar kupikul sendiri harapan yang memudar.
sebab tak lagi dapat tersenyum, sebab diri hanya sanggup menenun,
MENENUN AIR MATA..

____________________________
Ada yang mengatakan bahwa seorang yang sedang jatuh cinta bahwasanya ia tengah dilanda satu keadaan yang begitu egois. Ia menjadi tak peduli lagi pada apapun. Ketika ia membuka telinga, maka tak didengarkannya lagi apapun yang menghinakan seorang yang dicintainya itu. Seolah ia menyobek telinganya. Ketika ia membuka mata, maka mata itu tak akan berpaling lagi ke yang lain. Mata dia telah menjadi buta. Matanya tak dapat melihat wajah yang rupawan lagi selain wajah yang dicintainya. Pun demikian dengan hatinya, hatinya sudah mati, tak dapat merasa kerinduan yang dalam selain rindunya kepada seorang yang dicintainya itu. (Hehe, maaf, jika kebetulan mirip-mirip dengan “Sumpah I Love You-nya Mahadewi, :-D, piss!) Akan tetapi memang begitulah. Dalam bahasa India dikatakan Anjaam (Cinta Buta!).

Sebelum terlalu jauh, saya hendak sampaikan, barangkali saja secara kebetulan penulis sajak di atas adalah seorang perempuan, (dan bukan laki-laki!) menyebabkan seketika/spontanitas saya melemparkan satu tuduhan menyakitkan (mungkin): bahwa begitulah cengengnya seorang perempuan yang jatuh cinta, apalagi yang telah patah hatinya! Meski kemudian saya menyadari, bisa saja “aku” dalam sajak tersebut seorang laki-laki. Bukankah penulis puisi bisa saja merangkai kata-katanya bersumber dari penglihatannya/imajinasinya/pengalamannya pada seorang lelaki yang remuk hati? Toh banyak pula lelaki-lelaki cengeng di sekitar kita gara-gara cinta!

Cinta yang demikian itulah cinta yang mengkhawatirkan, sebab sama saja ia akan menyengsarakan dirinya sendiri. Kekhawatiran yang muncul sebenarnya baru akan nampak bila harapan tak sesuai dengan kenyataan. Ia akan mengalami ruang-ruang kesunyian dalam dirinya, yang di satu sisi dapat membuat dia menjadi seorang yang sangat tertutup, namun di sisi yang lain mungkin saja sebaliknya, ia menjadi seorang yang meledak-ledak pada akhirnya. Namun, apa boleh buat? Tak sedikit pula orang yang justru memilih dan menikmati jalan kesunyian tersebut. Baginya kenikmatan yang dirasakannya adalah ketika kerinduan yang begitu menusuk-nusuk hatinya.

Saya menjadi teringat satu penggal kata-kata yang terucap dari tokoh utama dalam When Romance meet Destiny, sebuah Drama Korea – yang memang terkenal romantis itu. Begini bunyinya kira-kira: “Mungkin aku adalah seorang yang mencintai perasaan merindukan seseorang, atau perasaan cinta yang bertepuk sebelah tangan.”



Nah, dalam sajak di atas, dalam kacamata saya, sedikit mengarah ke arah sana. Coba, mari kita cek dalam bait-bait puisi kawan kita! (Jika saya bisa berbahasa Inggris saya akan bilang: Let’s go for it!. Sayang, saya tidak bisa bahasa Inggris! Hehehe)

Bermula dari harapan yang melambung tinggi pada kisah cinta yang indah, ia menulis:

pada suatu ketika aku merasa melambung tinggi
terbang jauh ke awang-awang langit


Begitulah, “Jaring-jaring cinta” telah sukses memerangkapnya! Dan permainan pun dimulai:

sesaat kemudian aku terjatuh,
aku jatuh sejatuh-jatuhnya, aku patah sepatah-patahnya.
disebabkan oleh hempas angin yang terlampau lembut
disebabkan hujan yang hanya gerimis,
disebabkan oleh engkau yang bukan lagi milikku,
disebabkan oleh ia yang telah bersamamu...........


Dalam baris-baris itu, mengapa “aku” bisa-bisanya terhempas telak (dalam – aku jatuh sejatuh-jatuhnya, aku patah sepatah-patahnya) hanya oleh sesuatu yang terlalu kecil? (dalam – disebabkan oleh hempas angin yang terlampau lembut, disebabkan hujan yang hanya gerimis). Saya menduga, maksud baris ini adalah “permainan” kekasihnya yang begitu halus, dia main cantik, rapi, nyaris tak terdengar, tak terendus, namun efeknya sangat menusuk dari belakang, atau menggunting dalam lipatan! Ya, hanyalah seorang pemain cinta yang dapat melakukan hal tersebut. Pemain yang memainkan peran antagonis.

Namun, dasar! Begitu remuknya si “aku” (lagi-lagi, bisa-bisanyaaa...!) dia sanggup mengais dan memelihara sisa-sisa asa yang sia-sia belaka?! Ohoho, maaf saja, mungkin saya salah! Ya, tak ada yang sia-sia, bagi seorang pencinta yang (seperti saya sebutkan di atas) telah memilih dan menikmati jalan kesunyian, jalan yang baginya kerinduan yang begitu menusuk-nusuk hatinya merupakan satu kenikmatan yang s’galanya.

suatu ketika aku mencoba bangkit dan membaca nukilan sajak pujangga,
maka aku berhasrat menjadi ia,
suatu ketika aku mendengar nyanyian musisi,
maka aku berhasrat menjadi ia,
suatu ketika aku melihat keduanya sehingga akupun berhasrat jadi keduanya.
sehingga aku mampu menyanyikan sajak untuk merayu dan memenangkan hatimu kembali


Baris-baris tersebut cukup indah, yang jika tak berlebihan, saya katakan terasa gairah semangat yang menggelora pada penyair, satu sikap optimisme yang dibangun dengan sabar. Satu saja tujuannya. Ya, untuk satu tujuan yang mulia bagi seorang pencinta(!), yakni sehingga aku mampu menyanyikan sajak untuk merayu dan memenangkan hatimu kembali!

Lihatlah, begitu susah payahnya ia berusaha menjadi sesuatu yang bukan dirinya! Si “aku” berhasrat menjadi “ia”. “Ia” yang sebenarnya tak teridentifikasi jelas bagi saya. Apakah “ia” yang dimaksud adalah: sang pujangga yang pandai merangkai dan menyanyikan sajak, ia si perempuan yang menawarkan keindahan lain pada si kekasih sehingga mampu berpaling, atau? Siapa pula yang dimaksud dengan “keduanya”(?) Semuanya serba samar. Kita hanya dapat jelas menangkap, bahwa pastilah “ia” sesuatu yang berada di luar “aku”, tentu saja.

sedang aku telah jatuh dan patah, tak dapat lagi bersajak apalagi bernyanyi...

Ini adalah sebentuk mirip-mirip kepasrahan yang maklum dari si aku, yang lantas ia menyadari itu dan memilih mengasingkan diri, dalam ruang-ruang kesunyian yang sentimentil. Ia tak lagi mampu berbuat apa, ia telah menyerah, ia telah mengakui ketaksempurnaan dirinya, menjaga hati yang terlanjur luka namun begitu possesif, sebab nyatanya ia tak lagi memandang masa depan dengan begitu optimis, dengan membuka hati pada kesempatan/harapan yang indah pada cinta yang lain.

terkucil hidupku oleh perasaan yang aku bangun untukmu.
tersudut aku dengan KETAKSEMPURNAAN yang kusandang.
sedikitpun aku tak mampu berucap, sebab lidah ini kelu,
sebab hati terlanjur terluka tak dapat lagi MEMUTAR JANTERA cinta...
maka biar kubalut sendiri luka jatuh ini, maka biar kupikul sendiri harapan yang memudar.
sebab tak lagi dapat tersenyum, sebab diri hanya sanggup menenun,
MENENUN AIR MATA..


Pada akhirnya, nuansa kesunyian terhampar pada sebuah lembaran nostalgi, yang ia tenun dengan kesedihan, air mata yang indah yang begitu dinikmatinya tetes demi tetes. Jika ia tak menikmati tiap tetes keindahan air matanya, maka mustahil ia akan menenunnya. Tanyakanlah pada seorang penenun kain, apakah pernah (meskipun hanya tebersit dalam hatinya!) ia berniat hendak menenun selembar kain yang buruk?

Salam.[]

Semarang, di Kamar yang masih Sunyi, pada Musim yang tak menentu
close